SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 April 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR

SKEP NO 80 MenKeu bu Sri.

oleh Dpp Lsm Kupas Tumpas pada 18 April 2011 jam 5:40

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80/PMK.03/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 184/PMK.03/2007
TENTANG PENENTUAN TANGGAL JATUH TEMPO PEMBAYARAN DAN
PENYETORAN PAJAK , PENENTUAN TEMPAT PEMBAYARAN PAJAK, DAN TATA
CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK, SERTA TATA CARA
PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa penetapan batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak telah diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang
Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak,
Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran
dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan
Pembayaran Pajak yang merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan
Pasal 3 ayat (3c), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan);
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, diatur bahwa ketentuan dalam Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berlaku pula bagi undang-undang
perpajakan lainnya, kecuali apabila ditentukan lain;
c. bahwa selain pengaturan mengenai penetapan batas waktu pembayaran dan
penyetoran pajak sebagaimana tersebut pada huruf a, sesuai ketentuan yang
memberikan pengecualian sebagaimana tersebut pada huruf b, telah diatur
batas waktu pembayaran dan penyetoran PPN berdasarkan Pasal 15A Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yaitu paling
lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan;
d. bahwa dalam rangka penyelarasan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana dimaksud
dalam huruf b dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud dalam huruf c, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan
mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007
tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak,
Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran
dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan
Pembayaran Pajak;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5069);
3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan
Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 184/PMK.03/2007 TENTANG PENENTUAN TANGGAL
JATUH TEMPO PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK, PENENTUAN TEMPAT
PEMBAYARAN PAJAK, DAN TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN
PELAPORAN PAJAK, SERTA TATA CARA PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN
PEMBAYARAN PAJAK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007
tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak,
Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran
dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran
Pajak diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 3 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya
disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang
PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-
Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009.
4. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
5. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang PPN.
6. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang PPN.
2.
Ketentuan Pasal 2 ayat (13), ayat (14), dan ayat (15) diubah, di antara ayat (13) dan
ayat (14) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (13a), dan di antara ayat (14) dan ayat
(15) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (14a), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2
(1)
PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
(2)
PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
(3)
PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(4)
PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(5)
PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(6)
PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(7)
PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
(8)
PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan
dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau
dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
(9)
PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah
dilakukan pemungutan pajak.
(10)
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
(11)
PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada
penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak
dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(12)
PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu
sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(13)
PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh orang
pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(13a)
PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau
badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah saat terutangnya pajak.
(14)
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara
Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(14a)
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat
Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor
pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena
Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
(15)
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN
selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(16)
PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa
Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir
Masa Pajak terakhir.
(17)
Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang
melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus
dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak.
3.
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak harus disetor
paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat
Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
4.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (1a), ayat (1b) dan ayat (1c), dan di antara ayat (3)
dan (4) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3a) sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak
sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
ayat (6), ayat (7), ayat (11), dan ayat (12) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(1a)
Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah
disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13) dan ayat (13a), serta Pasal
2A, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(1b)
Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (13) dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut, paling lama
akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(1c)
Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (13a) dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat
terutangnya pajak.
(2)
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (9) wajib melaporkan
hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir
minggu berikutnya.
(3)
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10) wajib melaporkan
hasil pemungutannya paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
(3a)
Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (14) dan ayat (15) ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
(4)
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (16)
dan ayat (17) yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama
20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 169

Tidak Suka · · Bagikan · HapusAnda dan Syamsul Bahri menyukai ini.


Dpp Lsm Kupas Tumpas Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22:
a.
Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
b.Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai:
1.
barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
2.
barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di
Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam
peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang tata cara pemberian
pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan
internasional beserta para pejabatanya yang bertugas di Indonesia;
3.
barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan
atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
4.
barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat
lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
5.
barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6.
barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
7.
peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8.
barang pindahan;
9.
barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang
kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan kepabeanan;
10.
barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
ditujukan untuk kepentingan umum;
11.
persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12.
barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan
pertahanan dan keamanan negara;
13.
vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
14.
buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
15.
kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang,
dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
perusahaan penangkapan ikan nasional;
16.
pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor
dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
17.
kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia;
18
peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia; dan/
atau
19.
barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya dilakukan
oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
c.
Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali;
d.
Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
e.
Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d , berkenaan dengan:
1.
Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan
tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
2.
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air
minum/PDAM dan benda-benda pos.
f.
Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum
Badan Urusan Logistik (BULOG);
g.
Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor;
h.
Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
(2)
Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap berlaku dalam hal barang impor
tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0%(nol persen).
(3)
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf g dinyatakan
dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(4)
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan
huruf h dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dan ayat (2)
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh
Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
(1)
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan
dengan saat pembayaran Bea Masuk.
(2)
Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka Pajak
Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen
Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
(3)
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d terutang dan
dipungut pada saat pembayaran.
(4)
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri semen, industri
kertas, industri baja, dan industri otomotif terutang dan dipungut pada saat
penjualan.
(5)
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil bahan bakar minyak, gas dan
pelumas terutang dan dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran
Barang (delivery order).
(6)
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
terutang dan dipungut pada saat pembelian.
18 April jam 6:12 ·

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NICOLO DI CONTI 1449 (Batak dalam sejarah dunia)

LSM NPO dan Hubungan Bisnis Perdagangan