INDONESIAN NGO Mendukung LPSE -SPSE-LKPP Gov

SPSE - Sistem Pengadaan Secara Elektronik

SPSE merupakan aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh LKPP untuk diterapkan oleh instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Instansi pemerintah di Indonesia sangat beraneka ragam begitu pula dengan anggaran yang mereka miliki. Ada instansi daerah yang memiliki anggaran lebih dari 7 trilyun dan ada pula yang hanya puluhan hingga ratusan miliar saja per tahun. Kondisi ini menjadi pertimbangan LKPP dalam mengembangkan sistem e-procurement SPSE.SPSE dikembangkan dengan semangat free license. Instansi dengan anggaran yang terbatas tetap dapat menerapkan SPSE karena tidak diperlukan biaya lisensi kecuali pembelian server dan sewa akses internet. SPSE dikembangkan menggunakan Java dan database PostgreSQL sehingga dapat berjalan di Platform Linux
LPSE merupakan unit yang dibentuk oleh sebuah instansi untuk mengoperasikan sistem e-procurement SPSE. Pada awalnya LPSE hanya sebagai tim ad hoc yang dibentuk oleh kepala instansi (gubernur, walikota, menteri).Selanjutnya,LPSE diadakan d didirikan di tiap Provinsi dan Kabupaten se Indonesia sejak 2012.
Inpres ini resminya bernama Inpres nomor 17 tahun 2012 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Salah satu poin yang terkait dengan e-procurement adalah target penerapan e-procurement sebesar 75% anggaran di Kementerian/Lembaga/Institusi lain serta 40% di Daerah. Dari situlah kami menyebutnya Inpres 75-40.Masuknya target e-procurement pada inpres merupakan salah satu bukti bahwa kita semua, penyelenggara LPSE seindonesia, dapat meyakinkan para pimpinan bahwa Indonesia dapat menyelenggarakan e-procurement. Nilai paket 53 trilyun yang dilelang selama 2011 merupakan bukti keberhasilan tersebut. Ini semua merupakan hasil kerja keras tim LKPP serta semua pengelola LPSE seluruh indonesia.Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengukur 75% dan 40% tersebut? Angka 75% artinya 75 dari 100. Lha seratus persennya dari mana? Berbagai pendapat muncul tentang ‘penyebut’ dari 75/100. Pendapat tersebut antara lain:Dari paket yang diumumkan pada Rencana Umum Pengadaan (RUP)Dari belanja barang dan jasa (baik yang dilelang, swakelola, dan penunjukan langsung)Dari data RKA KLYang menjadi masalah adalah bagaimana mendapatkan ketiga jenis data tersebut. Sistem RUP belum tersedia. Data dari RKA KL mungkin cukup valid namun cukup sulit untuk mendapatkan data tersebut dari setiap instansi. Untuk pemda, jauh lebih sulit lagi karena jumlahnya banyak dan distribusi yang sangat tersebar.Data yang paling mudah didapat adalah data dari Inaproc. Di sana telah ada lelang yang e-proc dan non eproc. Artinya, total lelang (eproc dan non eproc) menjadi penyebutnya. Data ini cukup akurat dengan asumsi semua instansi mengumumkan lelang di Inaproc.Terlebih Perusahaan telah tervalidasi profil badan usahanya dan hanya perlumengupload penawaran tanpa harus print penawaran LPSE telah sangat mempercepat proses lelang. Ada puluhan paket pengadaan yang sedang dilelang oleh panitia. Spesifikasinya sebagian besar sama. Find menjadi salah satu fasilitas word processing yang sangat membantu mereka.Satu hal yang sangat mempercepat adalah tidak diperlukannya pencetakan/printing dokumen. Pada lelang konvensional, pencetakan dan penjilidan memerlukan effort yang tidak sedikit. Jenis lelang tertentu terutama konstruksi memerlukan dokumen dengan jumlah banyak hingga ratusan halaman. Adanya e-procurement telah mengurangi waktu dan biaya pencetakan dan kertas.
Nah, untuk mencegah kehilangan pendapatan/keuntungan tersebut, sistem bank harus memiliki BCP. Data-data yang disimpan di data center (kantor pusat) disimpan secara real time ke DRC (Disaster Recovery Center). Penentuan lokasi DRC juga sangat penting. Jika DRC bank tersebut berada di Jakarta maka potensi kehilangan data masih cukup besar, jika ada bencana di Jakarta. Untuk itu, DRC dapat diletakkan di katakanlah Batam atau Singapura.Nah, mengapa pengembangan DRC ini perlu keterlibatan orang keuangan? Ini terkait dengan biaya. Semakin baik kualitas BCP logikanya memerlukan biaya lebih banyak.Hmmm. Untuk LPSE seperti apa ya?Lagi-lagi ini menjadi tantangan implementasi LPSE. Di swasta, BCP dapat relatif mudah dikembangkan. Jika direktur sudah memahami maka semuanya menjadi bisa berjalan (terlepas nanti kendala di lapangan). Bagian keuangan juga bisa memutuskan besarnya biaya dan benefit yang akan diperoleh.Untuk LPSE, memahamkan tim LPSE saja tidak cukup. Kalaupun mereke sudah paham namun biro keuangan tidak paham maka mereka tidak akan menyediakan anggaran yang mencukupi. Kalau tidak ada anggaran, tentu saja BCP akan sangat terbatas.Contoh. Untuk meningkatkan reliabilitas, server LPSE perlu memiliki backup di colocation di Jakarta. naUntuk ini, LPSE perlu anggaran sewa rak, beli server, serta sewa internet di colocation. Bagian keuangan mungkin menolak anggaran ini karena alasan sederhana: sudah punya ruang server, server, dan internet kok mau sewa lagi; ini pemborosan anggaran.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan salah satu aktifitas dalam satu siklus manajemen pengadaan. Dan sayangnya, pada dasarnya orang tidak mau dievaluasi. Tahun lalu, LKPP telah membuat prosedur untuk monev dengan mengedarkan formulir ke semua instansi pemerintah. Konon, kurang dari 10% instansi memberikan data pengadaanya. Dari 10% instansi tersebut, prosentasi pengadaan yang dilaporkan juga sangat sedikit.Tahun 2010 juga telah dikembangkan Aplikasi Monev Online oleh Direktorat Monitoring & Evaluasi LKPP. Sosialisasi juga telah dilakukan ke banyak instansi. Namun ternyata data yang masuk ke sistem masih sangat sedikit. Beberapa hal yang menyebabkannya antara lain:Instansi tidak merasa membutuhkan sistem monev. Mengisi data di sana sama artinya dengan menambah pekerjaan.Data-data yang dilaporkan ke LKPP merupakan laporan yang harus disusun dengan mengolah data-data pengadaan manual. Ini merupakaan pekerjaan yang tidak mudah. Idealnya, monev dimasukkan ke dalam sistem e-procurement sehingga menjadi satu kesatuan business process. Melalui sistem e-proc, panitia pengadaan akan dipaksa mengisi data ke sistem.Belum ada regulasi yang cukup kuat tentang monev. Pasal 115 ayat 2 Perpres 54/2010 hanya penyebutkan bahwa Pimpinan K/L/D/I wajib melaporkan secara berkala realisasi Pengadaan Barang/Jasa kepada LKPP.Beberapa waktu lalu saya sempat menghadiri presentasi sistem monev pada Kementerian Pekerjaan Umum. Sistem monev PU cukup bagus dan telah berhasil digunakan untuk memantau dan mengevaluasi proses pengadaan yang sedang berjalan. Pimpinan dapat melihat satker-satker mana saja yang lambat melakukan penyerapan.Namun sistem monev PU agak berbeda fungsi dengan yang di LKPP. Salah satu fungsi monev di LKPP adalah untuk membuat kebijakan pengadaan. Selain itu, spektrum monev untuk LKPP jauh lebih luas karena menjangkau instansi pusat, pemerintah daerah, serta instansi-instasi dan lembaga pemerinta lain. Menerapkan monev di PU jauh lebih mudah. Menteri PU cukup membuat permen yang berlaku di seluruh kementerian termasuk di dalamnya sanksi jika tidak dilaksankan. Sementera itu itu, LKPP tidak bisa dengan mudah membuat peraturan yang mengatur instansi lain apalagi menerapkan sanksi.Hal yang paling mungkin dilakukan adalah menyisipkan monev di dalam SPSE sehingga menjadi bagian dari proses bisnis pengadaan. Ini akan dapat memaksa orang untuk mengisikannya. Jika monev menjadi sistem terpisah dari SPSE maka perlu disiapkan banyak hal; antara lain: regulasi, sosialisasi, dan training.
LPSE_SPSE Hebat E-Learning Series on E-Procurement yang diselenggarakan oleh World Bank telah saya ikuti 5 kali. Berikut ini ringkasannya dan silahkan banding dengan LPSE kita

1. Singapura: GeBIZ

Sistem eprocurement Singapura sudah full dan integrated dari perencanaan hingga payment. Namun tidak fair jika Singapura dibandingkan Indonesia dari sisi geografis dan demografi. GeBIZ dapat dibandingkan dengan sistem e-procurement Kota Surabaya dan tidak dapat dibandingkan dengan LPSE karena berbeda jauh jangkauan geografis dan infrastruktur IT.

2. Malaysia: E-perolehan

Sistem ini sudah lengkap (bisa dilihat di tulisan saya sebelumnya). Lagi-lagi geografis Indonesia sangat berbeda dengan Malaysia. Sistem ini dikembangkan dan dikelola oleh swasta (Commerce Dot Com).

3. Philipina

Secara geografis mirip dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Jumlah penduduk hampir 1/3 Indonesia dengan jumlah pulau juga 1/3 Indonesia. Sistem e-procurement mereka terpusat untuk melayani satu negara. Namun mereka hingga saat ini masih tahap e-announcement dan belum ada pemasukan penawaran secara online. Infrastruktur internet mereka mungkin tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Ketika mereka telah menerapkan full e-procurement mereka akan menghadapi masalah yang sama dengan kita — upload dokumen ratusan MB. Kita tunggu saja apakah model terpusat mereka dapat menyelesaikan masalah tersebut.

4. Korea: KONEPS

Seperti halnya Singapura, Korea memiliki infrastruktur jauh lebih bagus dibandingkan Indonesia. Sistem eproc mereka dikembangkan dan dikelola oleh swasta (Samsung kalau tidak salah).

5. India

Sebenarnya lenbih tepat kalau disebut dua pemerintah Provinsi di India (Andhra Pradesh dan Karnataka). Sewaktu presentasi, mereka tidak menyebutkan apakah sistem eproc di pemerintah provinsi tersebut digunakan juga oleh kabupaten/kota di provinsinya. Kemungkinan besar sistem mereka hanya digunakan oleh pemerintah Provinsi. Artinya, tidak dapat disamakan dengan LPSE Nasional, namun sejajar dengan LPSE Provinsi Jawa Timur atau LPSE Provinsi Bali.

6. Vietnam dan Thailand

Kedua negara ini masih di tahap awal implementasi e-procurement. Sistem mereka dikembangkan dan dikelola oleh swasta. Lagi-lagi sistem ini terpusat di ibu kota negara.Ada beberapa hal menarik yang dimiliki LPSE dibandingkan dengan sistem eproc di negara-negara tersebut.Sistem eproc LPSE dikembangkan dan dikelola oleh pemerintah secara langsung dan tidak melalui pihak ketiga. Hampir semua sistem di negara-negara tadi dikembangkan dan dikelola oleh swasta. Artinya, pemerintah (dan PNS) ternyata sanggup memberikan layanan IT dalam jumlah masif. Ingat, ada ratusan LPSE di seluruh Indonesia sementara di semua negara itu hanya ada masing-masing satu ‘LPSE’ di ibukota negara.Jika dibandingkan dengan perusahaan besar di Indonesia, LPSE patut berbangga. Jalintrade yang diluncurkan PT Telkom tahun 2003 sepertinya mati suri. Konon PNS yang dianggap memiliki skill IT di bawah pegawai swasta ternyata dapat mengelola sistem elektronik dengan nilai transaksi puluhan trilyun rupiah. Coba Jalintrade dikelola oleh tim LPSE, saya yakin sudah menghasilkan profit :D.Dengan segala keterbatasan biaya, skill, dan bandwidth LPSE dapat mengoperasikan layanan di banyak remote area. LPSE tidak perlu menunggu bandwidth puluhan MB tersedia seperti di Korea. Saya yakin, jika rekan-rekan LPSE diberi kesempatan, akan dapat membantu implementasi e-procurement di Filipina.Beberapa negara (Filipina dan Vietnam) mendapat bantuan dari luar negeri untuk menyelenggarakan e-procurement. Sementara itu, selain 5 provinsi pilot project MCC ICCP/USAID, semua instansi kita mendirikan dan mengelola LPSE dengan biaya dan kerja sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NICOLO DI CONTI 1449 (Batak dalam sejarah dunia)

LSM NPO dan Hubungan Bisnis Perdagangan