Anomali Sudut Pandang ( PERSFEKTIF)
Perspektif. Sepertinya dalam hidup kita tidak bisa dipisahkan dari perspektif. Perspektif tentang hidup, tentang diri sendiri, tentang orang lain. Perspektif individu ini lalu mengalami generalisasi ketika sekelompok orang memiliki pandangan yang sama. Dimata saya, perspektif adalah sudut pandang, sudut pandang dalam melihat, menilai sesuatu. Impactnya, tentu saja perspektif itu sangat tergantung oleh “siapa” yang melakukannya. Tentu saja akan cenderung subyektif.
Saya mencoba mencari definisi perspektif di wiki. Tidak ada di wiki indonesia. Namun di wiki english saya menemukan definisinya yang diartikan sebagai “one’s “point of view”, the choice of a context for opinions, beliefs and experiences”, “the related experience of the narrator”.
Lalu kenapa saya ingin membahas tentang perspektif?
Karena perspektiflah yang mendasari opini. Dan opini punya pengaruh besar membentuk mindset. Pola pikir. Dan ujung-ujungnya, mampu membentuk jadi diri. Entah itu pribadi, sekelompok orang, bahkan sampai ke level yang lebih besar.
Tidak percaya? Dalam issue regional, tulisan mas imam tentang walikota Bukittinggi yang melarang valentine karena berbau maksiat. Dimilis alumni saya tindakan sang walikota ini sangat didukung dengan alasan “mengembalikan kejayaan Bukittinggi sebagai nagari yang memegang teguh nilai-nilai agama”.
Kurang? lihat issue Nasional tentang lumpur lapindo, ketika para pengambil kebijakan akan mengarahkan kasus ini dalam konteks bencana alam. Bandingkan dengan pendapat para ahli yang melihat sebaliknya.
Mau lebih jadul? Ok. Ada berapa banyak orang yang juga menghalalkan darah seorang Salman Rusdie, meskipun bahkan sebenarnya saya berani bertaruh tidak sedikit yang tidak mengerti sama sekali siapa dia, apa yang dia tulis. Apalagi membaca bukunya. But wait, tolong jangan anggap saya tengah membela Salman Rusdie dan lalu darah saya, karena kutipan ini juga menjadi halal ditangan saudara-saudara saya.
Dalam kehidupan sehari-hari maka hal ini jelas lebih banyak lagi kasusnya. Ketika melihat seseorang hitam keningnya, berbaju koko, berkopiah, maka perspektif yang muncul adalah figur seseorang yang beriman. Kalau pakai celana jeans maka dia kebarat-baratan. Yang masuk masjid pasti orang beriman. Yang masuk bar jelas para bajingan. Perspektif, opini, telah menjadi sebuah kebenaran global dalam konteks kemasyarakatan.
Lalu kenapa anomali?
Karena menurut saya, secara makro, terutama di pikiran orang yang berada di lingkaran terdekat dan berada di level mayoritas, maka pendapat yang berbeda dari opini umum yang berlaku adalah anomali. Para anomali ini bisa dianggap telah menabrak dinding nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Pada anomali secara umum tengah menjadi maling yang hidup dilingkungan para kiai, atau bisa jadi malah sebaliknya. Itulah seorang anomali.
Tidak suka? Yah, sah sah saja. saya siap kok di komplain oleh nama-nama yang saya sebut diatas. Inilah perspektif saya tentang realita masyarakat. Tentang sebuah kebenaran komunal.
Ada resiko yang tengah dijalankan seorang anomali. Negara ini katanya memang negara hukum. Tapi sepertinya hukumpun ternyata tidak saklek dan tetap saja bisa diperspektifkan. Mungkin benar negara ini negara hukum. Hukum opini. Hukum kekuasaan. Atas nama kebenaran. Entah kebenaran siapa. Entah kebenaran yang mana. Semoga saya salah.
Ketika beberapa hari lalu saya menonton monolog Butet Kertaredjasa di Metro TV yang secara satir memvisualisasikan dunia hukum, keadilan, polisi, sarimin sang tukang topeng monyet, dalam tawa saya hanya bisa berharap. Semoga Butet Kertaredjasa masih hidup, tidak “di-Munir” kan. Tapi saya yakin seorang Butet, seorang Mas Iman, para geolog lapindo sadar betul resiko yang dihadapinya. Sebagai seorang anomali.
Bagaimana kita harus menyikapinya? Bagaimana kalau ternyata, ya yang begini inilah yang memang jati diri Masyarakat Indonesia? Haruskah kita mengikuti arus? Atau tetap menyuarakan perbedaan?
Ironisnya, hampir mayoritas tokoh-tokoh legendaris, sangat dekat dengan ke-anomali-an. Lihat saja nasib seorang Einstain, Newton, Soekarno, Soeharto, etc. Andai diantara mereka lalu kecele dan menyeleweng dari mainstream yang dia bawa, relatif itu terjadi ketika ia terlalu lama dalam mainstream itu sendiri. Lupa bahwa dia dulu juga seorang pembaharu, yang jika dia sendiri tak terbaharukan, maka dialah yang akan jadi tumbal. Posisi status quo, terlalu lama di confort zone-lah yang menyebabkan mereka hancur. Sedangkan orang-orang yang konsisten menerima pertumbuhan alam semesta, harum namanya diakhir hayatnya.
Kecerdasan itu dekat dengan kegilaan. Sebuah kalimat yang sering saya dengar. Jangan-jangan nabi Muhammad pun pada saat di utus oleh Tuhan di masyarakat Quraisy, dia juga dianggap anomali saat itu, sama halnya dengan nabi-nabi sebelum beliau dimasanya masing-masing. Namun Rasulullah secara konsisten menyampaikan pesan-pesan Tuhan.
Pembaharu. Perubahan. Sayang, banyak orang tidak siap dengan perubahan. Tidak banyak orang yang siap dengan perbedaan. Lebih banyak orang nyaman pada confort zonenya. Pada pembawa perubahan sering menjadi musuh bagi masyarakat saat itu. Seorang yang berbeda memiliki resiko dalam hidupnya. Disisihkan, dibenci, bahkan bisa ditinggal oleh orang-orang terdekatnya. Dan yang lebih sering lagi, berperang dengan dirinya sendiri, untuk konsisten atau mengikuti pendapat mayoritas. Tidak semua orang kuat menjadi seperti itu.
Semoga para pembaharu diberi kekuatan dan konsistensi. Namun tetap membuka mata, membuka telinga agar pembaharuan yang dibawa tidak menjadi racun yang membunuhnya sendiri. Agar dia tidak mati oleh nilai yang dia bawa sendiri. Terjebak dalam pembenaran-pembenarannya sendiri.
Dan diakhir tulisan ini, saya mohon maaf atas nama-nama yang saya bawa. Ini hanya contoh. Silahkan beropini, dengan perspektif masing-masing tentunya…
Komentar
Posting Komentar