MENGENANG MEI 2009 (SBYBOED)
MENGENANG MEI 2009 (SBYBOED)
oleh Dpp Lsm Kupas Tumpas pada 17 Mei 2011 jam 15:09
Filsuf dan kritikus kelahiran Spanyol, George Santayana (1863–
1952), berujar : mereka yang tidak mampu mengingat masa
lampau akan dihukum untuk mengulanginya. Fenomena
legenda mengenai burung phoenix nampaknya
memperoleh tempat yang sentosa dan nyata bagi
perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Berikut ini sebuah tulisan secara satire, mengingatkan kembali
tentang ingatan kita. Selamat membaca dan mengingat kembali :
Pemilihan Presiden Indonesia 2009 : Satire
Oleh : Bambang Haryanto
Bangkit dari abu dan api. Indonesia ibarat dongeng burung
phoenix. Ketika dirinya merasa menua, ia akan masuk ke dalam
kobaran api. Bulan Mei sebelas tahun lalu jadilah Indonesia yang
terbakar mengiringi tumbangnya rejim Orde Baru.
Majalah AsiaWeek edisi 5 Juni 1998, memuat kartun yang
menggambarkan sebuah mobil dengan nama “Indonesia” sedang
terbalik, terbakar, bersama sang sopir, yaitu Soeharto didalamnya.
Teksnya berbunyi : Famous last words : “Vrooom,
vrooooomm…”
Seperti halnya legenda burung phoenix, dari reruntuhan abu bekas
kebakaranitu muncul kemudian burung phoenix baru. Di bulan
Mei 2009 kini, sebagian dari aktor yang bermain di balik kobaran
abu dan terbakarnya Indonesia sebelas tahun yang lalu itu, telah
muncul menjadi calon-calon pemimpin Indonesia masa depan.
Bangsa Indonesia memang bangsa yang menakjubkan. Bangsa
yang pelupa, yang mudah memaafkan, sekaligus mudah
termakan iklan.
Hari-hari mendatang kita semua akan semakin dijejali dengan
iklan, iklan dan iklan. Juga oleh janji, janji, dan janji. Karena
sebagaimana ujar penyair, kritikus dan ahli kamus asal Inggris,
Samuel Johnson (1709-1784), bahwa promise, large promise, is
the soul of an advertisement. Pelbagai janji besar itu mulai
meluncur ketika mereka melakukan deklarasi.
Merebut Bung Karno.
Adalah pasangan Jusuf Kalla-Wiranto yang pertama kali melakukan
deklarasi.Slogan “lebih cepat dan lebih baik” diusung dan
dipraktekkan oleh pasangan tersebut. Mereka melakukan secara
gerak cepat. Termasuk dalam hal memperebutkan semboyan dan
slogan. Misalnya, ketika mereka memosisikan diri sebagai
pasangan dwi tunggal.
Kita tahu, jargon ini terlanjur melekat di benak bangsa Indonesia
untuk pasangan proklamator Soekarno-Hatta. Untuk mendekati
realitas, bahkan mereka pun mendeklarasikan diri di komplek
patung proklamator di Pegangsaan. Partainya Megawati, PDIP,
dalam hal ini kalah cepat dalam merebut simbol-simbol politik
masa lalu yang justru dicetuskan dan lekat bagi ayahnya, Bung
Karno.
JK sendiri mengatakan bahwa perpaduan dirinya dengan Wiranto
sebagai sesuatu yang cocok dan saling mengisi. Ilmu numerologi
muncul lagi. “Hanura itu nomor 1. Golkar itu nomor 23. Jadi kalau
digabung menjadi 1, 2, 3,” ujar JK.
Urutan nomor semacam itu mudah mengingatkan kita akan
merek peranti lunak terkenal di masa lalu, Lotus 1-2-3. Tetapi kini
merek tersebut tinggal mengisi sejarah, sudah kedaluwarsa dan
tidak lagi digunakan oleh pemakai.
Pasangan JK-Wiranto sepertinya memang suka bernostalgia akan
masa lalu. Ketika mendaftar di KPU, seperti ditulis oleh Seputar
Indonesia (17/5/2009), JK sempat menyindir pasangan lain yang
berasal dari daerah yang sama. “Kami pasangan pilpres, bukan
pasangan pilkada,” tandasnya. Sasaran tembaknya adalah SBY
yang berasal dari Pacitan dan Boediono dari Blitar, sama-sama dari
Jawa Timur.
JK-Wiranto, menurutnya, merupakan pasangan yang
merepresentasikan wilayah Indonesia yang luas. Kalla dari
Sulawesi Selatan, istrinya dari Sumatera Barat, sedangkan Wiranto
dari Jawa Tengah dan istrinya dari Gorontalo, Sulawesi Utara.
Seorang pengamat politik, Dr. Sukardi Hambali dari Politika
Humorista Institut Jakarta, nyeletuk :
“Kalau tesis JK-Wiranto semacam itu disetujui banyak orang dan
agar berkesesuaian dengan dinamika geopolitik berskala regional
dan global masa kini, maka pasangan yang ideal adalah pasangan
yang bukan mereka berdua. Melainkan pasangan Yusril Ihza
Mahendra sebagai calon presiden dan istri keduanya, Rika
Tolentino Kato, sebagai calon wakil presiden. Keduanya sungguh
merepresentasikan Indonesia, Filipina dan bahkan Jepang !”
Kaos McBoed di Bandung.
Kita pindah ke Bandung. Kembali Megawati Soekarnoputri dan
PDIP harus kehilangan semboyan perjuangan masa lalu ayahnya.
Jargon terkenal dari Bung Karno, yaitu Indonesia Menggugat,
telah digunakan oleh calon wakil presiden Boediono ketika
berpidato dalam acara deklarasi yang bernuansa a la kampanye
Obama-Biden di Amerika Serikat.
Bahkan pasangan SBY-Boediono, beserta istri masing-masing,
naik ke panggung dengan mengenakan pakaian berwarna merah.
Kita tahu, warna merah selama ini lekat disimbolkan sebagai
warna seragam partainya Mega. “Slogan lebih cepat dan lebih baik
juga bisa kami wujudkan. Itu bukan monopoli pasangan JK-
Wiranto saja,” tutur salah satu anggota tim sukses SBY Berbudi.
Deklarasi SBY-Boediono di Sabuga ITB Bandung, memang
meriah. Tepuk tangan dari hadirin, terutama anggota partai dan
simpatisan, terkesan nampak rapi dan terorganisir. Tambahan lagi,
seolahRizal Mallarangeng bersaudara dari FoxIndonesia ingin
menfotokopi persis hura-hura a la Obama-Biden, bahkan
termasuk ketika rombongan undangan untuk menghadiri deklarasi
menggunakan kereta api dari Jakarta ke Bandung.
Hanya saja, kalau Obama naik kereta api dari Philadelphia ke
Washington DC dalam rangka mengikuti jejak rute Abraham
Lincoln sebelum inaugurasi, rombongan pasangan SBY Berbudi
naik kereta api Parahyangan sebelum deklarasi.
“Ini kereta api murah dan merakyat,” papar Rizal
Mallarangeng di depan kamera televisi. Penggunaan kereta api
yang bukan dicarter khusus itu dimanfaatkan untuk melunakkan
tuduhan gencar politikus senior Amin Rais bahwa pemilihan
Boediono sebagai cawapres merupakan penubuhan dari mashab
ekonomi neoliberalisme yang diusung SBY.
Tudingan tentang mashab neoliberalisme ini memancing
kalangan profesional kehumasan yang mewakili perusahaan besar
berkomentar. Mereka menyayangkan bahwa, “duet SBY-Boediono
malam itu benar-benar melewatkan momen televisi yang
berharga. Dalam deklarasi, SBY Berbudi telah berani tidak lagi
mengenakan baju biru, warna Partai Demokrat, maka sebaiknya
mereka juga berani untuk tidak mengenakan peci. Dengan rambut
tertata rapi, yang menjadi ciri khas keduanya, mereka berpeluang
menjadi bintang iklan dari produsen minyak rambut. Yardley
atau Mandom, pasti tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Tambahnya sengit : “Kalau pun pakai peci, sembari mengambil
muatan lokal Sunda, kenakanlah seperti posisi pecinya si
Kabayan. Pecinya melintang. Biarkan sebagian rambut
menyembul sebagai sarana masuk untuk menjadi bintang iklan
minyak rambut. Jadi ada simbiosis ideal antara muatan lokal,
nasionalisme dan sekaligus neoliberalisme !”
Acara deklarasi SBY Berbudi sampai menit-menit terakhir konon
dibayang-bayangi aksi pembelotan kubu Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Beberapa hari sebelumnya PKS menyatakan
tidak setuju atas pengangkatan Boediono karena tidak
merepresentasikan golongan Islam. Presiden PKS Tifatul
Sembiring gencar bicara, bahwa dalam Islam ada gradasinya,
sementara perwakilan Jawa-Non Jawa harus diperhitungkan,
bahkan tak langsung menyebutkan adanya bibit-bibit
“pemberontakan” bila keberadaan mereka tidak diwakili.
Ancaman itu merupakan permainan kartu untuk menegosiasikan
posisi. Menurut kabar burung, PKS konon ingin memperoleh
posisi kuat bagi kader-kadernya untuk memimpin departemen di
bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan. “Agar
pasok kain putih tidak tersendat,” kata seorang pengamat. Karena
jutaan konstituen PKS membutuhkan bahan pokok, kain putih itu.
“Lihat saja demo-demo mereka. Kain putih, seragam putih, itu ciri
mereka. Bahkan demo untuk memprotes Israel dan demo
memprotes ketidakadilan AS di Timur Tengah, telah menjadi
merek dagang yang telah dipatenkan oleh mereka,” tuturnya lebih
lanjut. PKS juga ingin memperoleh konsesi dalam hal
memproduksi bendera-bendera Israel dan bendera Amerika
Serikat.
“Kalau beli yang asli kan mahal. Kami harus mampu
memproduksinya sendiri, guna memenuhi kebutuhan konstituen
kami. Konstelasi geopolitik secara global mensyaratkan setiap
kantor cabang kami di seluruh Indonesia memiliki cadangan cukup
bendera-benderaIsrael dan AS tersebut,” tegas salah satu
fungsionaris PKS yang berlatar pendidikan S-3 di Jepang.
“Ketika Timur Tengah bergolak, kami bisa segera berdemo.
Bendera negeri Zionis dan pendukungnya itu bisa dibakar oleh
mitra dan konstituen kami untuk menjadi bahan liputan televisi
yang dramatis dan mendunia !,” simpul akhirnya.
Malam itu, demo menentang SBY Berbudi juga terjadi di Bandung.
Sekitar satu kilometer dari arena deklarasi di Sasana Budaya
Ganesha ITB Bandung, ribuan mahasiswa berdemonstrasi. Antara
lain mereka menolak penggunaan fasilitas kampus untuk sarana
kampanye politik.
Sebagian mereka memakai kaos yang berisikan slogan-slogan
menentang mashab neoliberalisme. Tergambar, dengan latar
belakang logo golden arch-nya produsen makanan cepat saji
McDonald, terpampang wajah SBY, Boediono, Hatta Radjasa, Sudi
Silalahi, Sri Mulyani Indrawati, Rizal Mallarangeng, Andi
Mallarangeng, sampai Dino Patti Djalal.
Di bawah wajah-wajah tersebut terdapat tulisan : McBY, McBoed,
McHatta, McSilalahi, McMulyani, McMallarangeng sampai McDino.
Sambil berdemo, para mahasiswa itu menenggak Coca Cola.
Mereka pun agak lama menunggu kiriman burger dari gerai
McDonald terdekat, karena lalu lintas Bandung tambah macet saat
itu.
Malam yang alot.
Di Bandung ada pesta, sementara di Jakarta dan Bogor malam itu
terjadi negosiasi yang alot. Jadi benarlah bila beberapa hari
sebelumnya kalangan intelektual Indonesia menyebut-nyebut
adanya fenomena politisi malam.
Yaitu politikus yang menggalang dan menegosiasikan kekuasaan
secara misterius, dalam kegelapan, melakukan politik dagang sapi
yang tidak transparan, dengan tujuan semata-mata berbagi
kekuasaan dengan tidak menghiraukan kepentingan bangsa dalam
jangka panjang.
“Saya prihatin melihat mating season, musim cari jodoh yang
menjadi ajang dagang. Tawar-menawar perjodohan kandidat
presiden-wakil hanya merupakan tawar-menawar kekuasaan dan
jabatan…Karena hanya kepentingan jangka pendek yang jadi
pertimbangan, dua jenderal yang menyimpan pelanggaran hak
asasi manusia di masa lalu diterima…Menerima dua sosok itu
berarti menerima kembalinya pelanggaran hak asasi manusia,”
demikian tulis Ayu Utami dalam kolomnya berjudul “Naik
kereta dengan Pak Boed” (Seputar Indonesia, 17/5/2009).
Di ujung malam, Jumat 15/5/2009 itu, akhirnya Megawati dan
Prabowo sepakat maju sebagai capres dan cawapres PDIP-
Gerindra. Di BBC, pengamat politik Daniel Sparingga dari Unair
berkomentar, Mega membutuhkan Prabowo karena tokoh ini
banyak duitnya untuk membiayai pemasangan iklan-iklan mereka
kelak.
Sesuatu yang aneh kemudian terjadi. Misalnya, kita bisa melihat
sosok Boediman Sudjatmiko, aktivis PRD yang lalu menyeberang
ke barisan Mega, atau aktivis HAM seperti Rieke Dyah Pitaloka,
sejak malam itu diri mereka berada dalam satu kubu dengan
Prabowo Subianto.
Pengikatnya, kedua kubu mengaku memiliki platform yang sama,
utamanya dalam mengusung jargon ekonomi kerakyatan. Mega
dan Prabowo tentu juga sama-sama mengenal nama-nama yang
patut diduga menderita Stockholm Syndrome, yaitu Haryanto
Taslam dan Pius Lustri Lanang.
Menurut desas-desus, tokoh Haryanto Taslam itulah yang sempat
menjadi salah satu bahan negosiasi yang tidak mudah. Bila
menang, kubu Prabowo menginginkan Departemen Hukum dan
HAM ingin dijabat oleh Muchdi PR. Tokoh ini memang segera
meroket ke publik sebagai tokoh yang sangat sadar hukum. Ketika
dibebaskan dari tuduhan sebagai aktor intelektual dibalik
terbunuhnya aktivis HAM, Munir, ia berencana menggugat balik
kepada istri Munir dan pelbagai LSM lainnya.
Sementara itu kubu Mega, walau merasa pernah dikhianati atau
ditinggalkan oleh kadernya yang bernama Haryanto Taslam, naluri
keibuan dari Mega yang berbicara. Pengalaman diculik dan segala
duka-derita yang dialami Haryanto Taslam ia anggap sebagai aset.
Maka Mega menginginkan Haryanto Taslam, bila menang pilpres,
untuk menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM.
Akhirnya diperoleh kompromi. Muchdi PR diplot sebagai Menteri
Hukum dan Haryanto Taslam kelak diproyeksikan sebagai Menteri
HAM. Win-win terjadilah.
Antitesa neoliberalisme.
Negosiasi kedua tokoh ini memang paling alot. Isu yang beredar,
kealotan terjadi bukan hanya karena Gerindra ingin mendominasi
di bidang ekuin untuk mewujudkan mashab ekonomi kerakyatan.
Tetapi kealotan itu bahkan merembet ke masalah kereta api dan
lokasi seremoni deklarasi.
Konon, karena ingin menyaingi hebohnya kubu SBY-Berbudi,
PDIP ingin menyewa kereta api dari Bali ke Jakarta. “Kebalikan dari
rutenya Daendels. Sebagai isyarat dan simbol perlawanan kami
berdua terhadap neoliberalisme yang diusung rival kami,”
demikian tulis sebuah milis politik yang dekat dengan kubu Mega.
Lanjutnya, kereta api itu akan berhenti di Blitar. Untuk melayani
ritus Mega yang terkenal, yaitu nyekar ke makam Bung Karno.
Aksi itu juga merupakan gestur manis agar rakyat Blitar akan
memilih dirinya di pilpres. Bukan memilih kubu Boediono dan
Anas Urbaningrum, walau keduanya adalah orang asli Blitar.
Prabowo juga minta agar kereta berhenti di Solo dulu. Agar dia
bisa nyekar ke makam pak Harto di Giribangun, Mangadeg.
Juga sekaligus memberi pesan agar warga Solo dan sekitarnya,
yang memang basis tradisionalnya Mega, agar memilih dirinya.
Bukan memilih jenderal saingannya, yang orang Solo dan kini
menjadi cawapresnya JK.
Kabar burung ia ingin mengunjungi Candi Sukuh, agar enteng
jodoh sebagai kandidat wakil presiden. Tetapi kabar itu segera
dibantah oleh fihak-fihak terdekatnya. “Hal satu itu bukan masalah
kenegaraan yang mendesak. Ingat kasus Presiden Sarkozy. Ia
menyunting Carla Bruni sesudah duduk di kursi presiden,
bukan ?,” kata sumber tersebut.
Kebijakan tersebut dipilih demi menjaga keotentikan makna
slogan triumvirat baru Indonesia yang diusung pasangan ini.
Slogan satu ini, ketika slogan dan simbol-simbol terkenal dari Bung
Karnokeburu direbut pasangan pesaing, memang diilhami oleh
keharmonisan para founding fathers Indonesia yang harmonis
dan inklusif antara Soekarno, Hatta dan Sjahrir, ketika Indonesia
masih berusia muda.
Semangat itu pula yang akan ditonjolkan saat deklarasi. Ketika di
puncak seremoni deklarasi mereka, warga Republik Indonesia
akan melihat triumvirat baru Indonesia di layar televisi mereka.
Yaitu Megawati Soekarnoputri, pasangannya Taufik Kiemas, dan
Prabowo Subianto.
Adegan herois tersebut akan terpancar dari lokasi tempat
pembuangan sampah di Bantar Gebang, Bekasi. Salah satu
pentas sejarah politik Indonesia 2009 akhirnya berpihak ke tempat
satu ini. Lokasi ini dipilih untuk mencerminkan keberfihakan PDIP-
Gerindra kepada rakyat kecil.
Walau ada ganjalan, dari Jakarta, kedua tokoh itu akan sampai di
lokasi upacara dengan menaiki mobil yang selama ini mereka
gunakan. Mereknya pun sama : Lexus. Kubu konsultan politiknya
Mega-Prabowo berkilah. “Karena mobil MR keluaran Mazda tahun
1980-an sudah tak diproduksi lagi. Padahal kami ingin
memakainya.” MR adalah singkatan Mobil Rakyat.
Ekonomi kerakyatan.
Sebelum kompromi bab lokasi deklarasi diteken, sebenarnya
Gerindra mengajukan ide menarik. Agar seremoni deklarasi
mereka juga bernuansa atmosfir perguruan tinggi seperti halnya
SBY-Boediono di Sabuga ITB, kubu Prabowo minta seremoni
deklarasi dilangsungkan di kampus Universitas Trisakti.
Sekaligus untuk memperingati Tragedi Mei 1998. Keinginan
ini, di kalangan ahli psikoanalis, disebutnya sebagai manifestasi
sindrom burung phoenix.
Ketika itu, sebelas tahun lalu, 12-14 Mei 1998, saat pusat-pusat
bisnis Jakarta sampai Solo yang merupakan wajah depan ekonomi
liberalmenjadi membara dan terbakar, dari asap hitam yang
mengepul itu ternyata telah menerbitkan embrio gagasan
jenial. Gagasan itu kini menjadi platform andalan para pasangan
calon presiden dan calon wakil presiden yang berebutan tampil
sebagai kampiun dalam mengusung mashab ekonomi
kerakyatan.
Implementasi dari mashab ekonomi kerakyatan itu, pada satu sisi,
dimaknai dengan berulangnya kejadian di Indonesia seperti di
tahun 1974, 1982 sampai 1998. Ketika huru-hara membara di
perkotaan terjadi, ketika rakyat miskin kota berani menjarah sana-
sini guna mencoba memperoleh pembagian roti pertumbuhan
ekonomi, bukankah itu merupakan salah satu wujud dari mashab
“ekonomi kerakyatan” yang aktual dan nyata bagi rakyat
Indonesia ?
Apalagi di antara tiga pasangan yang berlomba dalam Pilpres
2009, kita belum lupa tentang mereka, terdapat sosok-sosok yang
ahli dalam merekayasa wajah “ekonomi kerakyatan” di atas. Huru-
hara menjelang Soeharto jatuh 21 Mei 1998, menunjukkan hal itu
pula. Bahkan huru-hara serupa juga sempat menjalar sampai di
Timor Timur 1999 pula. Apakah semua itu kini mudah bagi kita
untuk melupakannya ?
Filsuf dan kritikus kelahiran Spanyol, George Santayana (1863–
1952), berujar : mereka yang tidak mampu mengingat masa
lampau akan dihukum untuk mengulanginya. Fenomena
legenda mengenai burung phoenix nampaknya
memperoleh tempat yang sentosa dan nyata bagi
perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Tragedi itu berpeluang kembali untuk terjadi dan terjadi lagi, ketika
memori lama kita mudah menjadi luntur, tatkala dibombardir oleh
iklan-iklan dan janji-janji yang akan sangat gencar kita terima pada
hari-hari mendatang ini.
Wonogiri, 16-21/5/2009
Sumber : Komedian.blogspot.com
oleh Dpp Lsm Kupas Tumpas pada 17 Mei 2011 jam 15:09
Filsuf dan kritikus kelahiran Spanyol, George Santayana (1863–
1952), berujar : mereka yang tidak mampu mengingat masa
lampau akan dihukum untuk mengulanginya. Fenomena
legenda mengenai burung phoenix nampaknya
memperoleh tempat yang sentosa dan nyata bagi
perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Berikut ini sebuah tulisan secara satire, mengingatkan kembali
tentang ingatan kita. Selamat membaca dan mengingat kembali :
Pemilihan Presiden Indonesia 2009 : Satire
Oleh : Bambang Haryanto
Bangkit dari abu dan api. Indonesia ibarat dongeng burung
phoenix. Ketika dirinya merasa menua, ia akan masuk ke dalam
kobaran api. Bulan Mei sebelas tahun lalu jadilah Indonesia yang
terbakar mengiringi tumbangnya rejim Orde Baru.
Majalah AsiaWeek edisi 5 Juni 1998, memuat kartun yang
menggambarkan sebuah mobil dengan nama “Indonesia” sedang
terbalik, terbakar, bersama sang sopir, yaitu Soeharto didalamnya.
Teksnya berbunyi : Famous last words : “Vrooom,
vrooooomm…”
Seperti halnya legenda burung phoenix, dari reruntuhan abu bekas
kebakaranitu muncul kemudian burung phoenix baru. Di bulan
Mei 2009 kini, sebagian dari aktor yang bermain di balik kobaran
abu dan terbakarnya Indonesia sebelas tahun yang lalu itu, telah
muncul menjadi calon-calon pemimpin Indonesia masa depan.
Bangsa Indonesia memang bangsa yang menakjubkan. Bangsa
yang pelupa, yang mudah memaafkan, sekaligus mudah
termakan iklan.
Hari-hari mendatang kita semua akan semakin dijejali dengan
iklan, iklan dan iklan. Juga oleh janji, janji, dan janji. Karena
sebagaimana ujar penyair, kritikus dan ahli kamus asal Inggris,
Samuel Johnson (1709-1784), bahwa promise, large promise, is
the soul of an advertisement. Pelbagai janji besar itu mulai
meluncur ketika mereka melakukan deklarasi.
Merebut Bung Karno.
Adalah pasangan Jusuf Kalla-Wiranto yang pertama kali melakukan
deklarasi.Slogan “lebih cepat dan lebih baik” diusung dan
dipraktekkan oleh pasangan tersebut. Mereka melakukan secara
gerak cepat. Termasuk dalam hal memperebutkan semboyan dan
slogan. Misalnya, ketika mereka memosisikan diri sebagai
pasangan dwi tunggal.
Kita tahu, jargon ini terlanjur melekat di benak bangsa Indonesia
untuk pasangan proklamator Soekarno-Hatta. Untuk mendekati
realitas, bahkan mereka pun mendeklarasikan diri di komplek
patung proklamator di Pegangsaan. Partainya Megawati, PDIP,
dalam hal ini kalah cepat dalam merebut simbol-simbol politik
masa lalu yang justru dicetuskan dan lekat bagi ayahnya, Bung
Karno.
JK sendiri mengatakan bahwa perpaduan dirinya dengan Wiranto
sebagai sesuatu yang cocok dan saling mengisi. Ilmu numerologi
muncul lagi. “Hanura itu nomor 1. Golkar itu nomor 23. Jadi kalau
digabung menjadi 1, 2, 3,” ujar JK.
Urutan nomor semacam itu mudah mengingatkan kita akan
merek peranti lunak terkenal di masa lalu, Lotus 1-2-3. Tetapi kini
merek tersebut tinggal mengisi sejarah, sudah kedaluwarsa dan
tidak lagi digunakan oleh pemakai.
Pasangan JK-Wiranto sepertinya memang suka bernostalgia akan
masa lalu. Ketika mendaftar di KPU, seperti ditulis oleh Seputar
Indonesia (17/5/2009), JK sempat menyindir pasangan lain yang
berasal dari daerah yang sama. “Kami pasangan pilpres, bukan
pasangan pilkada,” tandasnya. Sasaran tembaknya adalah SBY
yang berasal dari Pacitan dan Boediono dari Blitar, sama-sama dari
Jawa Timur.
JK-Wiranto, menurutnya, merupakan pasangan yang
merepresentasikan wilayah Indonesia yang luas. Kalla dari
Sulawesi Selatan, istrinya dari Sumatera Barat, sedangkan Wiranto
dari Jawa Tengah dan istrinya dari Gorontalo, Sulawesi Utara.
Seorang pengamat politik, Dr. Sukardi Hambali dari Politika
Humorista Institut Jakarta, nyeletuk :
“Kalau tesis JK-Wiranto semacam itu disetujui banyak orang dan
agar berkesesuaian dengan dinamika geopolitik berskala regional
dan global masa kini, maka pasangan yang ideal adalah pasangan
yang bukan mereka berdua. Melainkan pasangan Yusril Ihza
Mahendra sebagai calon presiden dan istri keduanya, Rika
Tolentino Kato, sebagai calon wakil presiden. Keduanya sungguh
merepresentasikan Indonesia, Filipina dan bahkan Jepang !”
Kaos McBoed di Bandung.
Kita pindah ke Bandung. Kembali Megawati Soekarnoputri dan
PDIP harus kehilangan semboyan perjuangan masa lalu ayahnya.
Jargon terkenal dari Bung Karno, yaitu Indonesia Menggugat,
telah digunakan oleh calon wakil presiden Boediono ketika
berpidato dalam acara deklarasi yang bernuansa a la kampanye
Obama-Biden di Amerika Serikat.
Bahkan pasangan SBY-Boediono, beserta istri masing-masing,
naik ke panggung dengan mengenakan pakaian berwarna merah.
Kita tahu, warna merah selama ini lekat disimbolkan sebagai
warna seragam partainya Mega. “Slogan lebih cepat dan lebih baik
juga bisa kami wujudkan. Itu bukan monopoli pasangan JK-
Wiranto saja,” tutur salah satu anggota tim sukses SBY Berbudi.
Deklarasi SBY-Boediono di Sabuga ITB Bandung, memang
meriah. Tepuk tangan dari hadirin, terutama anggota partai dan
simpatisan, terkesan nampak rapi dan terorganisir. Tambahan lagi,
seolahRizal Mallarangeng bersaudara dari FoxIndonesia ingin
menfotokopi persis hura-hura a la Obama-Biden, bahkan
termasuk ketika rombongan undangan untuk menghadiri deklarasi
menggunakan kereta api dari Jakarta ke Bandung.
Hanya saja, kalau Obama naik kereta api dari Philadelphia ke
Washington DC dalam rangka mengikuti jejak rute Abraham
Lincoln sebelum inaugurasi, rombongan pasangan SBY Berbudi
naik kereta api Parahyangan sebelum deklarasi.
“Ini kereta api murah dan merakyat,” papar Rizal
Mallarangeng di depan kamera televisi. Penggunaan kereta api
yang bukan dicarter khusus itu dimanfaatkan untuk melunakkan
tuduhan gencar politikus senior Amin Rais bahwa pemilihan
Boediono sebagai cawapres merupakan penubuhan dari mashab
ekonomi neoliberalisme yang diusung SBY.
Tudingan tentang mashab neoliberalisme ini memancing
kalangan profesional kehumasan yang mewakili perusahaan besar
berkomentar. Mereka menyayangkan bahwa, “duet SBY-Boediono
malam itu benar-benar melewatkan momen televisi yang
berharga. Dalam deklarasi, SBY Berbudi telah berani tidak lagi
mengenakan baju biru, warna Partai Demokrat, maka sebaiknya
mereka juga berani untuk tidak mengenakan peci. Dengan rambut
tertata rapi, yang menjadi ciri khas keduanya, mereka berpeluang
menjadi bintang iklan dari produsen minyak rambut. Yardley
atau Mandom, pasti tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Tambahnya sengit : “Kalau pun pakai peci, sembari mengambil
muatan lokal Sunda, kenakanlah seperti posisi pecinya si
Kabayan. Pecinya melintang. Biarkan sebagian rambut
menyembul sebagai sarana masuk untuk menjadi bintang iklan
minyak rambut. Jadi ada simbiosis ideal antara muatan lokal,
nasionalisme dan sekaligus neoliberalisme !”
Acara deklarasi SBY Berbudi sampai menit-menit terakhir konon
dibayang-bayangi aksi pembelotan kubu Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Beberapa hari sebelumnya PKS menyatakan
tidak setuju atas pengangkatan Boediono karena tidak
merepresentasikan golongan Islam. Presiden PKS Tifatul
Sembiring gencar bicara, bahwa dalam Islam ada gradasinya,
sementara perwakilan Jawa-Non Jawa harus diperhitungkan,
bahkan tak langsung menyebutkan adanya bibit-bibit
“pemberontakan” bila keberadaan mereka tidak diwakili.
Ancaman itu merupakan permainan kartu untuk menegosiasikan
posisi. Menurut kabar burung, PKS konon ingin memperoleh
posisi kuat bagi kader-kadernya untuk memimpin departemen di
bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan. “Agar
pasok kain putih tidak tersendat,” kata seorang pengamat. Karena
jutaan konstituen PKS membutuhkan bahan pokok, kain putih itu.
“Lihat saja demo-demo mereka. Kain putih, seragam putih, itu ciri
mereka. Bahkan demo untuk memprotes Israel dan demo
memprotes ketidakadilan AS di Timur Tengah, telah menjadi
merek dagang yang telah dipatenkan oleh mereka,” tuturnya lebih
lanjut. PKS juga ingin memperoleh konsesi dalam hal
memproduksi bendera-bendera Israel dan bendera Amerika
Serikat.
“Kalau beli yang asli kan mahal. Kami harus mampu
memproduksinya sendiri, guna memenuhi kebutuhan konstituen
kami. Konstelasi geopolitik secara global mensyaratkan setiap
kantor cabang kami di seluruh Indonesia memiliki cadangan cukup
bendera-benderaIsrael dan AS tersebut,” tegas salah satu
fungsionaris PKS yang berlatar pendidikan S-3 di Jepang.
“Ketika Timur Tengah bergolak, kami bisa segera berdemo.
Bendera negeri Zionis dan pendukungnya itu bisa dibakar oleh
mitra dan konstituen kami untuk menjadi bahan liputan televisi
yang dramatis dan mendunia !,” simpul akhirnya.
Malam itu, demo menentang SBY Berbudi juga terjadi di Bandung.
Sekitar satu kilometer dari arena deklarasi di Sasana Budaya
Ganesha ITB Bandung, ribuan mahasiswa berdemonstrasi. Antara
lain mereka menolak penggunaan fasilitas kampus untuk sarana
kampanye politik.
Sebagian mereka memakai kaos yang berisikan slogan-slogan
menentang mashab neoliberalisme. Tergambar, dengan latar
belakang logo golden arch-nya produsen makanan cepat saji
McDonald, terpampang wajah SBY, Boediono, Hatta Radjasa, Sudi
Silalahi, Sri Mulyani Indrawati, Rizal Mallarangeng, Andi
Mallarangeng, sampai Dino Patti Djalal.
Di bawah wajah-wajah tersebut terdapat tulisan : McBY, McBoed,
McHatta, McSilalahi, McMulyani, McMallarangeng sampai McDino.
Sambil berdemo, para mahasiswa itu menenggak Coca Cola.
Mereka pun agak lama menunggu kiriman burger dari gerai
McDonald terdekat, karena lalu lintas Bandung tambah macet saat
itu.
Malam yang alot.
Di Bandung ada pesta, sementara di Jakarta dan Bogor malam itu
terjadi negosiasi yang alot. Jadi benarlah bila beberapa hari
sebelumnya kalangan intelektual Indonesia menyebut-nyebut
adanya fenomena politisi malam.
Yaitu politikus yang menggalang dan menegosiasikan kekuasaan
secara misterius, dalam kegelapan, melakukan politik dagang sapi
yang tidak transparan, dengan tujuan semata-mata berbagi
kekuasaan dengan tidak menghiraukan kepentingan bangsa dalam
jangka panjang.
“Saya prihatin melihat mating season, musim cari jodoh yang
menjadi ajang dagang. Tawar-menawar perjodohan kandidat
presiden-wakil hanya merupakan tawar-menawar kekuasaan dan
jabatan…Karena hanya kepentingan jangka pendek yang jadi
pertimbangan, dua jenderal yang menyimpan pelanggaran hak
asasi manusia di masa lalu diterima…Menerima dua sosok itu
berarti menerima kembalinya pelanggaran hak asasi manusia,”
demikian tulis Ayu Utami dalam kolomnya berjudul “Naik
kereta dengan Pak Boed” (Seputar Indonesia, 17/5/2009).
Di ujung malam, Jumat 15/5/2009 itu, akhirnya Megawati dan
Prabowo sepakat maju sebagai capres dan cawapres PDIP-
Gerindra. Di BBC, pengamat politik Daniel Sparingga dari Unair
berkomentar, Mega membutuhkan Prabowo karena tokoh ini
banyak duitnya untuk membiayai pemasangan iklan-iklan mereka
kelak.
Sesuatu yang aneh kemudian terjadi. Misalnya, kita bisa melihat
sosok Boediman Sudjatmiko, aktivis PRD yang lalu menyeberang
ke barisan Mega, atau aktivis HAM seperti Rieke Dyah Pitaloka,
sejak malam itu diri mereka berada dalam satu kubu dengan
Prabowo Subianto.
Pengikatnya, kedua kubu mengaku memiliki platform yang sama,
utamanya dalam mengusung jargon ekonomi kerakyatan. Mega
dan Prabowo tentu juga sama-sama mengenal nama-nama yang
patut diduga menderita Stockholm Syndrome, yaitu Haryanto
Taslam dan Pius Lustri Lanang.
Menurut desas-desus, tokoh Haryanto Taslam itulah yang sempat
menjadi salah satu bahan negosiasi yang tidak mudah. Bila
menang, kubu Prabowo menginginkan Departemen Hukum dan
HAM ingin dijabat oleh Muchdi PR. Tokoh ini memang segera
meroket ke publik sebagai tokoh yang sangat sadar hukum. Ketika
dibebaskan dari tuduhan sebagai aktor intelektual dibalik
terbunuhnya aktivis HAM, Munir, ia berencana menggugat balik
kepada istri Munir dan pelbagai LSM lainnya.
Sementara itu kubu Mega, walau merasa pernah dikhianati atau
ditinggalkan oleh kadernya yang bernama Haryanto Taslam, naluri
keibuan dari Mega yang berbicara. Pengalaman diculik dan segala
duka-derita yang dialami Haryanto Taslam ia anggap sebagai aset.
Maka Mega menginginkan Haryanto Taslam, bila menang pilpres,
untuk menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM.
Akhirnya diperoleh kompromi. Muchdi PR diplot sebagai Menteri
Hukum dan Haryanto Taslam kelak diproyeksikan sebagai Menteri
HAM. Win-win terjadilah.
Antitesa neoliberalisme.
Negosiasi kedua tokoh ini memang paling alot. Isu yang beredar,
kealotan terjadi bukan hanya karena Gerindra ingin mendominasi
di bidang ekuin untuk mewujudkan mashab ekonomi kerakyatan.
Tetapi kealotan itu bahkan merembet ke masalah kereta api dan
lokasi seremoni deklarasi.
Konon, karena ingin menyaingi hebohnya kubu SBY-Berbudi,
PDIP ingin menyewa kereta api dari Bali ke Jakarta. “Kebalikan dari
rutenya Daendels. Sebagai isyarat dan simbol perlawanan kami
berdua terhadap neoliberalisme yang diusung rival kami,”
demikian tulis sebuah milis politik yang dekat dengan kubu Mega.
Lanjutnya, kereta api itu akan berhenti di Blitar. Untuk melayani
ritus Mega yang terkenal, yaitu nyekar ke makam Bung Karno.
Aksi itu juga merupakan gestur manis agar rakyat Blitar akan
memilih dirinya di pilpres. Bukan memilih kubu Boediono dan
Anas Urbaningrum, walau keduanya adalah orang asli Blitar.
Prabowo juga minta agar kereta berhenti di Solo dulu. Agar dia
bisa nyekar ke makam pak Harto di Giribangun, Mangadeg.
Juga sekaligus memberi pesan agar warga Solo dan sekitarnya,
yang memang basis tradisionalnya Mega, agar memilih dirinya.
Bukan memilih jenderal saingannya, yang orang Solo dan kini
menjadi cawapresnya JK.
Kabar burung ia ingin mengunjungi Candi Sukuh, agar enteng
jodoh sebagai kandidat wakil presiden. Tetapi kabar itu segera
dibantah oleh fihak-fihak terdekatnya. “Hal satu itu bukan masalah
kenegaraan yang mendesak. Ingat kasus Presiden Sarkozy. Ia
menyunting Carla Bruni sesudah duduk di kursi presiden,
bukan ?,” kata sumber tersebut.
Kebijakan tersebut dipilih demi menjaga keotentikan makna
slogan triumvirat baru Indonesia yang diusung pasangan ini.
Slogan satu ini, ketika slogan dan simbol-simbol terkenal dari Bung
Karnokeburu direbut pasangan pesaing, memang diilhami oleh
keharmonisan para founding fathers Indonesia yang harmonis
dan inklusif antara Soekarno, Hatta dan Sjahrir, ketika Indonesia
masih berusia muda.
Semangat itu pula yang akan ditonjolkan saat deklarasi. Ketika di
puncak seremoni deklarasi mereka, warga Republik Indonesia
akan melihat triumvirat baru Indonesia di layar televisi mereka.
Yaitu Megawati Soekarnoputri, pasangannya Taufik Kiemas, dan
Prabowo Subianto.
Adegan herois tersebut akan terpancar dari lokasi tempat
pembuangan sampah di Bantar Gebang, Bekasi. Salah satu
pentas sejarah politik Indonesia 2009 akhirnya berpihak ke tempat
satu ini. Lokasi ini dipilih untuk mencerminkan keberfihakan PDIP-
Gerindra kepada rakyat kecil.
Walau ada ganjalan, dari Jakarta, kedua tokoh itu akan sampai di
lokasi upacara dengan menaiki mobil yang selama ini mereka
gunakan. Mereknya pun sama : Lexus. Kubu konsultan politiknya
Mega-Prabowo berkilah. “Karena mobil MR keluaran Mazda tahun
1980-an sudah tak diproduksi lagi. Padahal kami ingin
memakainya.” MR adalah singkatan Mobil Rakyat.
Ekonomi kerakyatan.
Sebelum kompromi bab lokasi deklarasi diteken, sebenarnya
Gerindra mengajukan ide menarik. Agar seremoni deklarasi
mereka juga bernuansa atmosfir perguruan tinggi seperti halnya
SBY-Boediono di Sabuga ITB, kubu Prabowo minta seremoni
deklarasi dilangsungkan di kampus Universitas Trisakti.
Sekaligus untuk memperingati Tragedi Mei 1998. Keinginan
ini, di kalangan ahli psikoanalis, disebutnya sebagai manifestasi
sindrom burung phoenix.
Ketika itu, sebelas tahun lalu, 12-14 Mei 1998, saat pusat-pusat
bisnis Jakarta sampai Solo yang merupakan wajah depan ekonomi
liberalmenjadi membara dan terbakar, dari asap hitam yang
mengepul itu ternyata telah menerbitkan embrio gagasan
jenial. Gagasan itu kini menjadi platform andalan para pasangan
calon presiden dan calon wakil presiden yang berebutan tampil
sebagai kampiun dalam mengusung mashab ekonomi
kerakyatan.
Implementasi dari mashab ekonomi kerakyatan itu, pada satu sisi,
dimaknai dengan berulangnya kejadian di Indonesia seperti di
tahun 1974, 1982 sampai 1998. Ketika huru-hara membara di
perkotaan terjadi, ketika rakyat miskin kota berani menjarah sana-
sini guna mencoba memperoleh pembagian roti pertumbuhan
ekonomi, bukankah itu merupakan salah satu wujud dari mashab
“ekonomi kerakyatan” yang aktual dan nyata bagi rakyat
Indonesia ?
Apalagi di antara tiga pasangan yang berlomba dalam Pilpres
2009, kita belum lupa tentang mereka, terdapat sosok-sosok yang
ahli dalam merekayasa wajah “ekonomi kerakyatan” di atas. Huru-
hara menjelang Soeharto jatuh 21 Mei 1998, menunjukkan hal itu
pula. Bahkan huru-hara serupa juga sempat menjalar sampai di
Timor Timur 1999 pula. Apakah semua itu kini mudah bagi kita
untuk melupakannya ?
Filsuf dan kritikus kelahiran Spanyol, George Santayana (1863–
1952), berujar : mereka yang tidak mampu mengingat masa
lampau akan dihukum untuk mengulanginya. Fenomena
legenda mengenai burung phoenix nampaknya
memperoleh tempat yang sentosa dan nyata bagi
perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Tragedi itu berpeluang kembali untuk terjadi dan terjadi lagi, ketika
memori lama kita mudah menjadi luntur, tatkala dibombardir oleh
iklan-iklan dan janji-janji yang akan sangat gencar kita terima pada
hari-hari mendatang ini.
Wonogiri, 16-21/5/2009
Sumber : Komedian.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar